Versi UMUM
Pulau Jawa yang sejak lampau menjadi pulau stragis di Nusantara ini ternyata memiliki satu suku asli yang bernama Suku Kalang. Orang-orang suku Kalang, yang berada di daerah Jawa Tengah dan perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur ini, dikenal sebagai ahli dalam pertukangan, membuat bangunan, dan membuat senjata. Meski ada sebagian orang Jawa mendekat dan mempelajari berbagai ilmu dari suku Kalang, namun pada alhirnya mereka tidak dapat menyerap ilmu itu dengan sesempurna. Meski sama-sama menduduki pulau Jawa, suku Kalang ini berbeda dengan Suku Jawa. Konon, orang-orang Suku Kalang memiliki tulang ekor kecil yang sedikit panjang dari pada orang kebanyakan.
Ada
beberapa keterangan bahwa, masyarakat suku Kalang merupakan sisa murid dari
Syeh Siti Jenar. Dalam cerita rakyat, Setelah Siti Jenar dihukum mati konon,
para pengikutnya dipelihara kembali oleh para wali dan pewaris tahta Demak,
Pajang juga Mataram. Mereka inilah yang dikenal dan disebut sebagai orang
Kalang atau Suku Bajang.
Orang Kalang, umumnya memiliki raut
muka dan tubuh yang aneh diluar kelaziman manusia biasa. Mereka bertugas
mengiringi para raja ketika upacara religi dan ritual yang digelar oleh
keraton. Hingga saat ini upacara yang mengikut sertakan orang Kalang ini masih
sering dilaksanakan oleh adat Keraton Mataram. Hal ini sebagai satu simbol
kepedulian orang keraton terhadap mereka bahkan, merupakan pusaka keraton yang
wajib dipelihara.
Kemungkinan
Suku Kalang ini adalah suku asli pulau Jawa, sebelum Orang Sunda dan orang Jawa
tinggal di pulau Jawa. Suku Kalang ini adalah salah satu kunci sukses Raja-raja
Jawa dalam membangun peradaban Jawa dan menaklukkan daerah-daerah lain di
Nusantara. Pada jaman kerajaan dulu, Suku Kalang terkenal dengan ilmu mistis
dan ghaibnya yang sangat sakti, orang Jawa sering memanfaatkan suku Kalang jika
ada daerah invasi yang menggunakan ilmu mistis, salah satu yang pernah
dikalahkan suku Kalang yakni suku Dayak.
Suku Dayak yang terkenal selalu
bertempur dengan ilmu sihir pun harus menyerah dengan kesaktian orang-orang
Suku Kalang yang ternyata menguasai ilmu mistis yang lebih kuat.
Diceritakan,
pada waktu pasukan Empu Nala dari Kerajaan Majapahit sudah hampir dipukul
mundur oleh orang-orang Dayak dari kerajaan Nan Sarunai. Akhirnya orang-orang
dari suku Kalang ini diterjunkan oleh Empu Nala sebagai pasukan pamungkas untuk
menghabisi kekuatan pasukan Dayak. Sang Raja Nan Sarunai nang bangaran Raja
Anyan yang bersembunyi di sumur tua yang ditutup 9 buah gong berlapis mantera
tingkat tinggi pun mampu terendus keberadaannya oleh penciuman orang-orang Suku
Kalang. Raja Anyan kemudian ditangkap dan dieksekusi mati oleh Empu Nala. Dan
dengan demikian akhirnya majapahit menang dari pertempuran itu. Suku Kalang
ini, dipercaya sebagai sebuah kelompok masyarakat yang berdiam misterius di
seputar Jawa Tengah dan Jawa Timur yang keberadaannya kini entah ada dimana.
Dalam
sebuah keterangan, dikatakan bahwa mereka sebenarnya bukan suku Jawa, akan
tetapi pendatang dari India pelosok yang masih terbelakang alias primitif.
Kedatangan mereka ke bumi nusantara dibawa oleh saudagar-saudagar India sebagai
pengawal sekaligus kuli angkut barang. Ini karena diyakini, suku Kalang memiliki
tenaga aneh dan sejumlah kemampuan di luar akal sehat. Namun, karena
terbelakang dan tidak berpendidikan, Suku Kalang mudah dibodohi atau diperintah
layaknya budak. Pendapat ini dikemukan oleh PJ Veth yang menulis buku “Java”.
Soemarsaid Moertono menentang
pendapat ini dalam bukunya “Negara dan Usah Bina Negara di Jawa Masa Lampau”.
Soemarsaid memberikan pendapat bahwa, Suku Kalang adalah suku primitif yang ada di Jawa keturunan Pra-Dravidia atau Porto Melayu yang hanya bisa hidup di hutan secara berpindah-pindah. Meski hampir sama, namun pendapat ini berbeda dengan Robert-Read dalam buku “Penjelajah Bahari, Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika”, terbitan Mizan.
Pelaut Indonesia diindikasikan
pernah berada di India Selatan saat era pra-Dravidia 500 tahun sebelum masehi.
Jika dihubung-hubungkan ketiga pendapat tersebut, bisa jadi Suku Kalang
sebenarnya adalah orang Indonesia yang melaut hingga India namun nasib yang
membawa mereka kembali ke nusantara menjadi budak. Pendapat ekstrim diutarakan
oleh Mitsuo Nakamura (1983), seorang Antropolog Jepang yang menyebut suku
Kalang adalah keturunan anjing atau kera. Ini karena sebagai dari mereka yang
memiliki ekor pendek. Penyebutan Kalang diidentifikasi lebih halus oleh Gericke
Roorda bahwa Kalang artinya ” di luar “, masyarakat yang berada di luar
kebiasaan manusia biasa.
Berbagai
pendapat negatif muncul tentang suku Kalang karena sejumlah perilakunya
dianggap menyimpang. Namun, yang paling mendekati positif, mereka sangat ulet
dan pekerja keras tanpa mengenal lelah. Akibat gunjingan kurang baik ini Suku
Kalang dahulu sering menyembunyikan identitas dirinya kepada masyarakat umum. Prasasti
Harinjing (804 M) dan Panggumulan ( 904 M) telah menyebut tentang keberadaan
suku ini di masyarakat. Harinjing menyebut Tuha Kalang ( Kepala Suku Kalang ),
sementara Panggumulan menyebut Pandhe Kalang ( penebang kayu Suku Kalang ). Di
Masa Majapahit, suku Kalang atau biasa disebut Wong Kalang, diberdayakan untuk
membangun candi-candi besar, khususnya candi yang dianggap punya nilai
spiritual tinggi. Ini karena wong Kalang bekerja tanpa bersuara yang dianggap
sebagai tapa mbisu. Bertapa tanpa mengeluarkan suara mirip orang bisu. Selain
itu lewat kemampuan khusus yang cenderung mistis, wong Kalang mampu memindahkan
batu-batu besar secara ajaib. Mereka pernah terlihat mengangkat batu gunung,
mengangkat pohon walau tetap dilakukan secara beramai-ramai.
Meski
jumlahnya tak begitu banyak, mereka yang dianggap sakti dan lebih linuwih dari
yang lain, dikumpulkan secara tersendiri. Kelompok ini kemudian dijadikan
pasukan khusus urusan perang gaib alias perang klenik. Dalam penyerangan
Majapahit ke Kalimantan, kelompok Suku Kalang di libatkan sepenuhnya untuk
menghadapi suku Dayak yang memang cukup tangguh dalam urusan ilmu gaib.
Kemenangan Majapahit atas
Kalimantan tersebut membuat Empu Nala membalas jasa-jasa orang Kalang yang
terlibat dengan mengangkatnya sebagai perwira-perwira khusus. Namun, perilaku
yang cenderung aneh dan liar, membuat Majapahit kemudian mencopot kembali
jabatan-jabatan tersebut dan mengembalikan Suku Kalang tetap sebagai pasukan
back up saja. Mereka tetap tidak memegang komando tapi dikomandoi. Suku Kalang
dianggap sulit diangkat kastanya sebagai Kesatria dalam Tri Wangsa ( Brahmana,
Kesatria, Tri Wangsa). Tentangan paling keras di lakukan oleh Kaum Brahmana
karena tindak tanduk Suku Kalang yang bahkan dianggap masih kalah beradab
dibanding kaum sudra.
Sisa-sisa
mistisisasi suku Kalang masih terasa hingga jaman mulai modern. Gubernur
Raffles 1811-1816) yang punya ketertarikan mendalam terhadap seni dan
kebudayaan Indonesia pernah membuat catatan tentang ritual-ritual mereka,
diantaranya, Wuku ang’gara yakni ritual yang dilaksanakan pada hari Kliwon
kelima, ritual wuku galingan yang dinyatakan sebagai hari suci menghentikan
semua pekerjaan apapun, serta ritual wuku gumreg sebagai perwujudan rasa
syukur. Ada juga ritual kalang obong dimana mereka membakar jasad orang tua
atau kerabat yang meninggal lewat perantaraan boneka kayu. Mitosnya, saat
boneka tersebut dibakar, bersamaan dengan itu jenasah yang dituju ikut pula
terbakar.
Meski
masa Hindu telah lewat dan Islam yang tak mengenal kasta berjaya di nusantara,
Suku Kalang dimasa Sultan Agung justru dicari keberadaannya dan dikumpulkan
menjadi satu di Jawa Tengah. Mereka dibuatkan semacam camp besar dengan
penjagaan ketat. Ini akhirnya memunculkan pendapat baru tentang nama Kalang.
Dalam bahasa Jawa, Kalang artinya di buatkan penghalang, lingkaran, ruang atau
halaman, dengan mengambil kata kerja ” di kalangi ” ( dilingkari ). Untuk
mengkoordinir masyarakat Kalang ditunjuk salah satu diantara mereka yang paling
dihormati dan diberi pangkat Tumenggung. Lewat Tumenggung ini berbagai perintah
kerja diberikan. Tugas mereka masih sama, yakni kerja kasar layaknya budak.
Menebang dan mengangkut kayu pohon, batu menjadi kuli panggul dan lain
sebagainya. Selain itu beberapa orang diantara mereka diambil kalangan
bangsawan sebagai abdi dalem untuk mengerjakan tugas-tugas kasar di rumah
mereka masing-masing.
Kekalahan Sultan Agung terhadap Belanda
membuat orang-orang Kalang berpindah dari Jawa Tengah ke Yogyakarta, tepatnya
di Kotagede.
Pemerintah
lokal tidak lagi terlalu memberikan perhatikan khusus terhadap keturunan
Kalang. Suku Kalang yang selama sekian periode dipaksa untuk bersentuhan dengan
dunia umum akhirnya terbiasa. Mereka mulai melupakan ritual-ritual mistis dan
bekerja layaknya manusia pada umumnya. Mereka ikut serta meluaskan pengetahuan
dalam dunia bisnis. Karena watak dasarnya yang ulet. Di masa revolusi
kemerdekaan lagi-lagi Suku Kalang jatuh menderita. Mereka menjadi
sasaran-sasaran penjarahan atau perampokan masal setiap kali ada kerusuhan,
sama dengan yang dialami suku Tionghoa. Saat ibu kota pindah ke Yogya, Sultan
HB IX juga meminta golongan Suku Kalang menyumbang dana besar bagi perjuangan
Republik.Kini Suku Kalang tak sehebat dulu. Sekarang mereka mudah di temui.
Surat
Kabar Suara Merdeka Jawa Tengah ditahun 2008 pernah menurunkan liputan
bagaimana Suku Kalang hidup di Kendal, Jawa Tengah. Meski tak lagi punya daya
linuwih dan kebanyakan masuk Islam, mereka tetap menjalankan ritual-ritual
tradisi sesuai apa yang dilakukan leluhurnya. Sepanjang peradaban Kalang, suku
unik ini mewajibkan indogami alias menikah diantara kalangan sendiri, namun
jaman telah berubah. Mereka telah sangat banyak melakukan kimpoi campur
berkali-kali di hampir setiap keturunan. Darah makin hari makin hilang. Demikianlah
seklumit tentang suku Kalang yang hingga saat ini, keberadaan aslinya masih
menjadi sebuah misteri yang tidak akan habis dibahas.
Kontributor Lucia Sri Retno
Pamungkas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar