Minggu, 27 Oktober 2019

SUKU KALANG

Versi UMUM

            Pulau Jawa yang sejak lampau menjadi pulau stragis di Nusantara ini ternyata memiliki satu suku asli yang bernama Suku Kalang. Orang-orang suku Kalang, yang berada di daerah Jawa Tengah dan perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur ini, dikenal sebagai ahli dalam pertukangan, membuat bangunan, dan membuat senjata. Meski ada sebagian orang Jawa mendekat dan mempelajari berbagai ilmu dari suku Kalang, namun pada alhirnya mereka tidak dapat menyerap ilmu itu dengan sesempurna. Meski sama-sama menduduki pulau Jawa, suku Kalang ini berbeda dengan Suku Jawa. Konon, orang-orang Suku Kalang memiliki tulang ekor kecil yang sedikit panjang dari pada orang kebanyakan.

            Ada beberapa keterangan bahwa, masyarakat suku Kalang merupakan sisa murid dari Syeh Siti Jenar. Dalam cerita rakyat, Setelah Siti Jenar dihukum mati konon, para pengikutnya dipelihara kembali oleh para wali dan pewaris tahta Demak, Pajang juga Mataram. Mereka inilah yang dikenal dan disebut sebagai orang Kalang atau Suku Bajang.
Orang Kalang, umumnya memiliki raut muka dan tubuh yang aneh diluar kelaziman manusia biasa. Mereka bertugas mengiringi para raja ketika upacara religi dan ritual yang digelar oleh keraton. Hingga saat ini upacara yang mengikut sertakan orang Kalang ini masih sering dilaksanakan oleh adat Keraton Mataram. Hal ini sebagai satu simbol kepedulian orang keraton terhadap mereka bahkan, merupakan pusaka keraton yang wajib dipelihara.

            Kemungkinan Suku Kalang ini adalah suku asli pulau Jawa, sebelum Orang Sunda dan orang Jawa tinggal di pulau Jawa. Suku Kalang ini adalah salah satu kunci sukses Raja-raja Jawa dalam membangun peradaban Jawa dan menaklukkan daerah-daerah lain di Nusantara. Pada jaman kerajaan dulu, Suku Kalang terkenal dengan ilmu mistis dan ghaibnya yang sangat sakti, orang Jawa sering memanfaatkan suku Kalang jika ada daerah invasi yang menggunakan ilmu mistis, salah satu yang pernah dikalahkan suku Kalang yakni suku Dayak.
Suku Dayak yang terkenal selalu bertempur dengan ilmu sihir pun harus menyerah dengan kesaktian orang-orang Suku Kalang yang ternyata menguasai ilmu mistis yang lebih kuat.

            Diceritakan, pada waktu pasukan Empu Nala dari Kerajaan Majapahit sudah hampir dipukul mundur oleh orang-orang Dayak dari kerajaan Nan Sarunai. Akhirnya orang-orang dari suku Kalang ini diterjunkan oleh Empu Nala sebagai pasukan pamungkas untuk menghabisi kekuatan pasukan Dayak. Sang Raja Nan Sarunai nang bangaran Raja Anyan yang bersembunyi di sumur tua yang ditutup 9 buah gong berlapis mantera tingkat tinggi pun mampu terendus keberadaannya oleh penciuman orang-orang Suku Kalang. Raja Anyan kemudian ditangkap dan dieksekusi mati oleh Empu Nala. Dan dengan demikian akhirnya majapahit menang dari pertempuran itu. Suku Kalang ini, dipercaya sebagai sebuah kelompok masyarakat yang berdiam misterius di seputar Jawa Tengah dan Jawa Timur yang keberadaannya kini entah ada dimana.

            Dalam sebuah keterangan, dikatakan bahwa mereka sebenarnya bukan suku Jawa, akan tetapi pendatang dari India pelosok yang masih terbelakang alias primitif. Kedatangan mereka ke bumi nusantara dibawa oleh saudagar-saudagar India sebagai pengawal sekaligus kuli angkut barang. Ini karena diyakini, suku Kalang memiliki tenaga aneh dan sejumlah kemampuan di luar akal sehat. Namun, karena terbelakang dan tidak berpendidikan, Suku Kalang mudah dibodohi atau diperintah layaknya budak. Pendapat ini dikemukan oleh PJ Veth yang menulis buku “Java”.
Soemarsaid Moertono menentang pendapat ini dalam bukunya “Negara dan Usah Bina Negara di Jawa Masa Lampau”.

            Soemarsaid memberikan pendapat bahwa, Suku Kalang adalah suku primitif yang ada di Jawa keturunan Pra-Dravidia atau Porto Melayu yang hanya bisa hidup di hutan secara berpindah-pindah. Meski hampir sama, namun pendapat ini berbeda dengan Robert-Read dalam buku “Penjelajah Bahari, Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika”, terbitan Mizan.
Pelaut Indonesia diindikasikan pernah berada di India Selatan saat era pra-Dravidia 500 tahun sebelum masehi. Jika dihubung-hubungkan ketiga pendapat tersebut, bisa jadi Suku Kalang sebenarnya adalah orang Indonesia yang melaut hingga India namun nasib yang membawa mereka kembali ke nusantara menjadi budak. Pendapat ekstrim diutarakan oleh Mitsuo Nakamura (1983), seorang Antropolog Jepang yang menyebut suku Kalang adalah keturunan anjing atau kera. Ini karena sebagai dari mereka yang memiliki ekor pendek. Penyebutan Kalang diidentifikasi lebih halus oleh Gericke Roorda bahwa Kalang artinya ” di luar “, masyarakat yang berada di luar kebiasaan manusia biasa.



            Berbagai pendapat negatif muncul tentang suku Kalang karena sejumlah perilakunya dianggap menyimpang. Namun, yang paling mendekati positif, mereka sangat ulet dan pekerja keras tanpa mengenal lelah. Akibat gunjingan kurang baik ini Suku Kalang dahulu sering menyembunyikan identitas dirinya kepada masyarakat umum. Prasasti Harinjing (804 M) dan Panggumulan ( 904 M) telah menyebut tentang keberadaan suku ini di masyarakat. Harinjing menyebut Tuha Kalang ( Kepala Suku Kalang ), sementara Panggumulan menyebut Pandhe Kalang ( penebang kayu Suku Kalang ). Di Masa Majapahit, suku Kalang atau biasa disebut Wong Kalang, diberdayakan untuk membangun candi-candi besar, khususnya candi yang dianggap punya nilai spiritual tinggi. Ini karena wong Kalang bekerja tanpa bersuara yang dianggap sebagai tapa mbisu. Bertapa tanpa mengeluarkan suara mirip orang bisu. Selain itu lewat kemampuan khusus yang cenderung mistis, wong Kalang mampu memindahkan batu-batu besar secara ajaib. Mereka pernah terlihat mengangkat batu gunung, mengangkat pohon walau tetap dilakukan secara beramai-ramai.

            Meski jumlahnya tak begitu banyak, mereka yang dianggap sakti dan lebih linuwih dari yang lain, dikumpulkan secara tersendiri. Kelompok ini kemudian dijadikan pasukan khusus urusan perang gaib alias perang klenik. Dalam penyerangan Majapahit ke Kalimantan, kelompok Suku Kalang di libatkan sepenuhnya untuk menghadapi suku Dayak yang memang cukup tangguh dalam urusan ilmu gaib.
Kemenangan Majapahit atas Kalimantan tersebut membuat Empu Nala membalas jasa-jasa orang Kalang yang terlibat dengan mengangkatnya sebagai perwira-perwira khusus. Namun, perilaku yang cenderung aneh dan liar, membuat Majapahit kemudian mencopot kembali jabatan-jabatan tersebut dan mengembalikan Suku Kalang tetap sebagai pasukan back up saja. Mereka tetap tidak memegang komando tapi dikomandoi. Suku Kalang dianggap sulit diangkat kastanya sebagai Kesatria dalam Tri Wangsa ( Brahmana, Kesatria, Tri Wangsa). Tentangan paling keras di lakukan oleh Kaum Brahmana karena tindak tanduk Suku Kalang yang bahkan dianggap masih kalah beradab dibanding kaum sudra.

            Sisa-sisa mistisisasi suku Kalang masih terasa hingga jaman mulai modern. Gubernur Raffles 1811-1816) yang punya ketertarikan mendalam terhadap seni dan kebudayaan Indonesia pernah membuat catatan tentang ritual-ritual mereka, diantaranya, Wuku ang’gara yakni ritual yang dilaksanakan pada hari Kliwon kelima, ritual wuku galingan yang dinyatakan sebagai hari suci menghentikan semua pekerjaan apapun, serta ritual wuku gumreg sebagai perwujudan rasa syukur. Ada juga ritual kalang obong dimana mereka membakar jasad orang tua atau kerabat yang meninggal lewat perantaraan boneka kayu. Mitosnya, saat boneka tersebut dibakar, bersamaan dengan itu jenasah yang dituju ikut pula terbakar.


            Meski masa Hindu telah lewat dan Islam yang tak mengenal kasta berjaya di nusantara, Suku Kalang dimasa Sultan Agung justru dicari keberadaannya dan dikumpulkan menjadi satu di Jawa Tengah. Mereka dibuatkan semacam camp besar dengan penjagaan ketat. Ini akhirnya memunculkan pendapat baru tentang nama Kalang. Dalam bahasa Jawa, Kalang artinya di buatkan penghalang, lingkaran, ruang atau halaman, dengan mengambil kata kerja ” di kalangi ” ( dilingkari ). Untuk mengkoordinir masyarakat Kalang ditunjuk salah satu diantara mereka yang paling dihormati dan diberi pangkat Tumenggung. Lewat Tumenggung ini berbagai perintah kerja diberikan. Tugas mereka masih sama, yakni kerja kasar layaknya budak. Menebang dan mengangkut kayu pohon, batu menjadi kuli panggul dan lain sebagainya. Selain itu beberapa orang diantara mereka diambil kalangan bangsawan sebagai abdi dalem untuk mengerjakan tugas-tugas kasar di rumah mereka masing-masing.
Kekalahan Sultan Agung terhadap Belanda membuat orang-orang Kalang berpindah dari Jawa Tengah ke Yogyakarta, tepatnya di Kotagede.
           
            Pemerintah lokal tidak lagi terlalu memberikan perhatikan khusus terhadap keturunan Kalang. Suku Kalang yang selama sekian periode dipaksa untuk bersentuhan dengan dunia umum akhirnya terbiasa. Mereka mulai melupakan ritual-ritual mistis dan bekerja layaknya manusia pada umumnya. Mereka ikut serta meluaskan pengetahuan dalam dunia bisnis. Karena watak dasarnya yang ulet. Di masa revolusi kemerdekaan lagi-lagi Suku Kalang jatuh menderita. Mereka menjadi sasaran-sasaran penjarahan atau perampokan masal setiap kali ada kerusuhan, sama dengan yang dialami suku Tionghoa. Saat ibu kota pindah ke Yogya, Sultan HB IX juga meminta golongan Suku Kalang menyumbang dana besar bagi perjuangan Republik.Kini Suku Kalang tak sehebat dulu. Sekarang mereka mudah di temui.


            Surat Kabar Suara Merdeka Jawa Tengah ditahun 2008 pernah menurunkan liputan bagaimana Suku Kalang hidup di Kendal, Jawa Tengah. Meski tak lagi punya daya linuwih dan kebanyakan masuk Islam, mereka tetap menjalankan ritual-ritual tradisi sesuai apa yang dilakukan leluhurnya. Sepanjang peradaban Kalang, suku unik ini mewajibkan indogami alias menikah diantara kalangan sendiri, namun jaman telah berubah. Mereka telah sangat banyak melakukan kimpoi campur berkali-kali di hampir setiap keturunan. Darah makin hari makin hilang. Demikianlah seklumit tentang suku Kalang yang hingga saat ini, keberadaan aslinya masih menjadi sebuah misteri yang tidak akan habis dibahas.

Kontributor Lucia Sri Retno Pamungkas


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

NUSANTARA LEMURIA 7

Asal Muasal LEMURIA part 3 Kembali saya bertadabur tentang tehnologi Lemuria selama saya berkomunikasi bersama dengan para Lemuria A...